Kamis, 17 September 2009

Deskripsi masalah implementasi kebijakan tentang PKL

BAB I

DESKRIPSI MASALAH KEBIJAKAN



Pertumbuban penduduk yang tinggi di daerah perkotaan menimbulkan berbagai permasalahan yang rumit, karena pihak pemerintah khususnya pemerintah kota belum bisa atau lamban mengantisipasi adanya peningkatan penduduk yang cepat misalnya dengan pengadaan lahan pemukiman, kesempatan kerja, penyediaan sarana dan prasarana dan sebagainya. Salah satu permasalahan yang timbul selain dari kriminalitas, penggangguran, sampah, banjir dan sebagainya adalah masalah keberadaan pedagang kaki lima (PKL).

Efek yang ditimbulkan dari keberadaan PKL ini dengan pola ketidakteraturannya misalnya menciptakan kawasan kumuh, kesemrawutan, kemacetan lalu lintas dan mengurangi keindahan atau estetika kota. Permasalahan PKL ini runtut sejak awal dan semakin besar serta tidak mudah teratasi akibat arus migrasi yang tidak pernah berhenti. Dan kebijakan demi kebijakan telah diterapkan pemerintah khususnya pemerintah kota, namun hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, kebijakan apa yang telah dilaksanakan pemerintah kota dan bagaimana penerapannya dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima tersebut ? kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dan kendala yang dihadapi serta responsivitas PKL atas kebijakan tersebut.

Sektor informal kini menjadi kebijakan eksplisit dalam pembangunan Nasional, yang mana sektor informal diharapkan dapat berperan sebagai "Katup Penyelamat" dalam menghadapi masalah lapangan kerja bagi angkatan kerja yang tidak dapat terserap dalam sektor modern/formal. Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan seperti menggangu pergerakan pejalan kaki atau menyebabkan kemacetan lalu lintas di kawasan Jl. Asia Afrika, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum (public land).

Pada umumnya PKL dalam kegiatannya seringkali menempati ruang-ruang publik sehingga mengganggu lingkungan dan fungsi kota, menyebabkan kemacetan, merusak pemandangan dan lain-lain.

  1. Berdasarkan keterkaitan ruang, PKL yang berada di wilayah studi masih berada dalam radius berjalan kaki sehingga kegiatan makan siang pekerja perkantoran Jl. Asia Afrika mampu diakomodasi oleh PKL,

  2. Berdasarkan keterkaitan waktu, jam beroperasi PKL masih dalam rentang jam makan siang pekerja perkantoran sehingga kegiatan makan siang pekerja mampu diakomodasi oleh PKL,

  3. Berdasarkan keterkaitan kegiatan, PKL di sekitar wilayah studi mayoritas berjualan makanan yang dibutuhkan untuk mengakomodasi kegiatan makan siang pekerja perkantoran,

  4. Berdasarkan persepsi dan preferensi pekerja Jl. Asia Afrika dan PKL, sebagian besar lebih suka jika relokasi dilakukan di jalan-jalan kecil bukan di pelataran parkir perkantoran.

PKL bagi pemerintah kota sering dianggap sebagai perusak keindahan kota dan penyebab kesemrawutan dan kemacetan. Padahal di sisi lain, PKL mempunyai peranan penting di dalam perekonomian perkotaan. Pada sebuah seminar yang disponsorip LGSP USAID, GKG Laksaketi menyebutkan bahwa nilai transaksi perdagangan sektor informal/PKL mencapai 2.68 Triliun, walaupun hal ini dibantah oleh perwakilan Pemkot Bandung di seminar yang sama karena PDRB Kota Bandung tidak memperhitungkan kontribusi sektor informal/PKL. Selain itu, klaim bahwa PKL penyebab kemacetan dan ketidakteraturan juga cenderung menyamaratakan PKL sebagai satu-satunya biang kerok. Padahal secara kasat mata kita melihat bahwa pertumbuhan factory outlets dan mal seperti PvJ juga menyebabkan kemacetan yang luar biasa di kota Bandung.

Penanganan PKL cenderung bersifat represif melalui penggusuran, sementara penataan atau pengaturan cenderung mengabaikan karakter PKL sendiri. Pemindahan PKL di daerah Alun-alun ke dalam arena Dezone misalnya, atau PKL di Karapitan ke lantai paling bawah dari mal, menempatkan PKL pada posisi yang tidak strategis sehingga ketika dagangan mereka tidak laku, akhirnya mereka kembali ke jalan.

Alasan ketiadaaan lahan untuk arena PKL sebenarnya kurang tepat jika kita bandingkan berapa lahan yang bisa disediakan pemerintah Kota Bandung untuk pembangunan pusat perbelanjaan modern dan mal-mal mewah, yang sebenarnya sudah terlalu banyak untuk Kota Bandung. Pemda Kota Bandung dapat belajar dari Kota Solo dalam penangaan PKL yang lebih persuasif. Kami berhipotesis bahwa PKL pada dasarnya bersedia bekerjasama untuk menciptkaan keindahan dan ketertiban kota Bandung, sepanjang bahwa ajakan ini disampaikan dengan persuasif. Oleh karena itu langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah 1) melakukan pemetaan terhadap lokasi PKL serta karakteritstiknya 2) memetakan lokasi2 strategis milik Pemda (Pemda bisa menjadi investornya) untuk dibangun pasar-pasar tradisional) 3) Melakukan dialog dengan PKL termasuk menerima masukan PKL agar desain pasar maupun lokasi baru tetap bersahabat dengan PKL dan kelompok konsumennya






























BAB II

DESKRIPSI KEBIJAKAN PUBLIK


Keberadaan PKL yang menimbulkan dilematis tersendiri bagi pemerintah menuntut kebijaksanaan dalam proses penyelesaiannya. Konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal: pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.

Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah Kota seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

Selama ini, pemerintah menganggap kebijakan relokasi merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios­-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.

Pemerintah kota dalam memandang keberadaan Pedagang Kaki Lima merupakan pihak atau sektor informal yang mengganggu ketertiban dan keindahan kota, sehingga keberadaanya perlu disingkirkan atau ditertibkan menjadi sektor formal. Selama ini, sikap Pemerintah Kota seringkali menggunakan perspektif teknokratis dalam membuat kebijakannya. Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya ruang aspirasi bagi pedagang kaki lima dan cenderung bersifat top down. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi tersebut, pemerintah mendefinisikan permasalahan PKL dengan logikanya sendiri, tanpa mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh PKL.

Ketakutan PKL atas terganggunya pemasaran atau berkurangnya pembeli menjadi alasan untuk melakukan penolakan. Meski di luar itu, banyak pihak yang melakukan intervensi juga terhadap keberadaan PKL, preman misalnya. Selain itu, PKL merasa tidak pernah dilibatkn dalam pembuatan kebijakan, sehingga PKL menganggap tidak ada kejelasan dari pemerintah mengenai konsep relokasi. Pemerintah juga dinilai tidak adil dalam menangani keberadaan PKL karena di tempat lain Pemerintah tidak melakukan penertiban. Konteks tersebutlah yang menyebabkan munculnya konflik vertikal, yaitu ketika Pemerintah memiliki otoritas atau instrumen kekerasan untuk melaksanakan agenda kebijakannya yang tidak aspiratif, sedangkan pedagang tidak memiliki kekuatan dan akses untuk menyalurkan dan mempertahankan kepentingannya.

Faktor pemicu munculnya konflik vertikal antara pemerintah dengan PKL adalah munculnya kebijakan relokasi Pemerintah Kota secara sepihak, tanpa adanya sosialisasi, pelibatan dan dialog dengan paguyuban pedagang kaki lima dalam agenda setting kebijakannya. Sehingga tidak terdapat negosiasi di antara dua kepentingan yang berbeda.

Kota Bandung, sebagai kota jasa dengan angka pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 mencapai 2,54 juta , merupakan pasar potensial bagi pelaku dunia usaha termasuk PKL. Kota jasa sebagai prioritas kampanye Pemda Kota Bandung, merupakan dukungan tidak langsung dalam menggairahkan sebagian masyarakat menerjuni usaha berupa PKL. Dari data statistik yang terkumpul, pada tahun 1997, PKL dikota Bandung sekitar 3000 unit, meningkat pada tahun 1997 menjadi 9000 unit dan sungguh dramastis pada tahun 2000 menjadi 16.880 unit. Pertumbuhan dari tahun 1997 sampai tahun 2000 sebesar 563 % dalam waktu tiga tahun. Tingginya persentase pertumbuhan PKL ini diakibatkan oleh maraknya PHK dan minimnya kesempatan kerja, serta dampak kebebasan dari arus reformasi yang salah diartikan oleh sebagian anggota masyarakat. PKL merupakan struktur kelompok usaha terbawah dalam jenjang dunia dagang, tak sedikit pengusaha besar merintis usahanya sebagai PKL diawal karirnya. Akan sangat berarti jika keberadaan PKL yang pertumbuhannya terus meningkat bisa dimanfaatkan sebagai aset untuk menggerakkan Bandung sebagai kota jasa. Dalam kajian normatif kondisi ini akan tergambarkan jika kenyataan dilapangan sesuai dengan harapan kita. Yang sudah tentu akan menciptakan kota Bandung yang genah merenah, tumaninah. Serta sesuai dengan motto kota Bandung BERHIBER ( bersih, hijau dan berbunga ).

Secara Yuridis konsep dan model terpadu yang mengatur pembinaan PKL dituangkan dengan keputusan Walikotamdya kepala daerah Tingkat II bandung Nomor : 624 tahun 1999, tanggal 18 Desember 1999, tentang pengaturan PKL di Kotamadya Bandung yang di Implementasikan dengan pembentukan Tim pengaturan dan Pembinaan PKL di Kota Bandung yang dituangkan dalam keputusan walikota bandung nomor : 625 Tahun 1999, tanggal 18 Desember 1999, yang pada dasarnya dalam rangka memberdayakan PKL yang kemudian pada gilirannya nanti menjadi pedagang formal, dengan memiliki tempat berjualan yang repsentatif. Niat baik Pemda Kota Bandung tersebut malah terlihat sebatas kebijakan formal, jika kita melihat kenyataan dilapangan.

Membanjirnya PKL membutuhkan penanganan yang baik agar tidak menimbulkan kerugian pada kelompok masyarakat yang lain terutama pengguna jalan. Untuk hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pedagang Kaki Lima (PKL). Perda tersebut dibentuk berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

  1. PKL sebagai individu warga masyarakat perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan usahanya dalam rangka mendukung perkembangan ekonomi sektor informal;

  2. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Kabupaten Sleman telah menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum menimbulkan gangguan ketentraman, ketertiban masyarakat, kebersihan lingkungan (K3), dan kelancaran lalu lintas sehingga perlu dilakukan pengaturan agar tercipta tertib sosial dan ketentraman masyarakat;



Kenyataan berbicara lain, pertumbuhan yang senantiasa tidak diikuti dengan penataan dan penegakan hukum malah melahirkan ketidaknyamanan yang pada akibatnya menimbulkan berbagai masalah yang multidimensi dalam kehidupan sosial masyarakat kota Bandung. Fungsi-fungsi sosial fasilitas umum kita, telah berganti menjadi tempat usaha, yang hak pengelolaannya berganti ketangan-tangan penguasa partikelir. Jual beli lahan, atau yang umumnya disebut lapak merupakan warna nyata dalam bisnis gelap dunia PKL. hitungan jual beli tersebut bukan sebatas ratusan ribu, malahan jutaan rupiah merupakan realitas klasik bagi para PKL. Fungsi sosial yang seharusnya diperuntukan dalam satu kawasan lambat laun mulai bergeser menjadi lahan baru PKL yang tidak tertata. Konsekwensi logisnya, Hak masyarakat yang seharusnya memanfaatkan kawasan tersebut kini hilang dan hanya sebuah harapan untuk mengembalikannya ke posisi proporsional. PKL sebagai aset kota Bandung sudah tentu akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kota jasa. Untuk menata PKL sebagai aset kota maka sudah tentu semua pihak harus terlibat memikirkan permasalahan yang ada saaat ini. Legislatif, eksekutif, NGO’s dan komponen masyarakat serta PKL sendiri senantiasa harus mensinergikan programmnya dalam mencari format yang pas bagi persoalan PKL ini. Yang sangat ditakutkan dalam pembinaan PKL adalah pertumbuhan PKL yang terus bertambah.

Kesemrawutan akan nampak jika kita mulai memasuki kawasan pasar Baru Alun-alun, Jl. Asia Afrika Bandung serta Tegalega. Didaerah pasar Baru yang jalur lalu lintasnya searah sekarang menjadi jalan bermodel botol. Dengan bentuk masuk yang melebar dan pintu keluar menyempit, jalan Otista tersebut senantiasa macet pada pagi, siang dan sore hari. Jalur masuk yang semula 3-4 mobil pada akhirnya harus bertarung pada ujung persimpangan Otista-Sudirman menjadi satu arah. Penyebabnya tak lain oleh kesemrawutan pengaturan PKL dikawasan tersebut. Dua tahun yang lalu kebijakan pemda kota Bandung mengijinkan PKL berdagang dibahu jalan Otista jika mendekati hari raya Idul Fitri. Setelah itu mereka dilarang. Namun untuk saat ini ternyata kebijakan tersebut masih berlaku, oleh persepsi PKL. Meskipun dengan segala daya upaya pemerintah Kota terus menertibkannya, namun hasilnya dapat kita lihat saat ini. Mengurut pada periode zaman Kolonial Belanda, penataan kota Bandung mengacu pada analisis perhitungan ekonomi biaya-manfaat ( cost-benefit analysis ) yang sangat rinci, dengan mengabaikan asfek sosial-budaya. Sehingga, dalam pertumbuhan selanjutnya, mengakibatkan timbulnya kompleksitas masalah perkotaan, baik yang berkaitan dengan asfek tata ruang, transportasi dan infrastruktur, penyediaan lapangan kerja, kesenjangan, ketidakadilan dan kecemburuan sosial, ekonomi serta budaya, maupun asfek yang berkaitan dengan kawasan pedagang pinggiran.











BAB III

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

BERDASAR MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN/TEORI

Menurut Mazmanian dan Sabatier serta Van Meter dan Van Horn, yang variabelnya sama bahwa yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dimana para PKL melakukan aktivitasnya hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan masih adanya sebagian PKL yang melanggar ketentuan dan berusaha mempertahankan eksistensinya demi untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kesejahteraannya.

Dalam kajian Peter Hall, jika permasalahan ini terus berlangsung, tanpa pengendalian yang efektif, akan merusak daya dukung lingkungan dan komunitas penduduknya, “kota-kota ini tidak memiliki masa depan”. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan Johm Ormsbee Simonds ( Earthspace, 1986), bahwa pengelolah kota ( urban manager ) bersama kalangan bisnis dan masyarakat luas, sadar atau tanpa sadar disadari, karena keserakahannya, bersama-sama sedang melakukan bunuh diri ekologis ( ecologis suicide ), dengan merusak sistem. Dengan tidak adanya kebijakan dan ketegasan yang pasti dari pengelolah Kota Bandung ini bukan mustahil mereka melakukan bunuh diri terhadap masa depan kotanya. Demikian pula dengan keberadaan PKL yang tidak teratur ini ekosistem yang selama ini ada akan kembali terusik yang lama-kelamaan akan menjelma menjadi parasit bagi lingkungan sekitarnya. Terutama ruang publik yang selama ini minim, malah terampas oleh kegiatan PKL.
Menyadari konsep penataan ruang yang mengacu pada analisis perhitungan ekonomi biaya – manfaat yang tidak memperhitungkan keterlibatan komunitas pedangang marginal, maka konsekwensi logis yang harus ditempuh oleh penentu kebijakan adalah menata kembali fungsi dan peran keterlibatan pengusaha kecil ( PKL ) sebagai aset yang harus dikembangkan bukan dihanguskan, dengan menyediakan kawasan usaha yang strategis dan model wadah ( gerobak ) yang menarik.

Dengan mendidik masyarakat bertanggung jawab dan memiliki lingkungannya maka, kebijakan preventif dan antisipasif senantiasa masyarakat sendiri yang akan mengawasinya. Kita percaya kesemrawutan yang ada bukanlah keinginan dari masyarakat yang berada dalam kawasan yang terambil ruang publiknya. Struktur pemerintahan dari tingkat RT sampai kecamatan merupakan pendorong bagi gerakan bersama ini. Adalah konsep akan bermanfaat jika diaplikasikan bukan sebatas retorika atau hanya pelengkap administrasi belaka. Dengan penataan yang terpadu bukan mustahil, PKL ini akan menjadi aset dalam mengerakkan ekonomi kerakyatan masyarakat Bandung sehingga cita-cita sebagai kota Jasa bukan sebatas slogan belaka.

Zaman telah berubah, kebijakan untuk menghilangkan PKL bukanlah pilihan tepat, yang jelas pembinaan berkelanjutan merupakan program jangka panjang dalam merumuskan ouput yang sesuai dengan konsepsi bersama. Adalah tepat jika kita mengarahkan kreatifitas dan keteguhan pelaku usaha pinggiran ini untuk mulai kita fokus dalam pengembangan dan kebijakan yang tepat. Bukan mustahil dari tangan-tangan mereka akan tumbuh small industri yang bisa menghasilkan Devisa berbentuk Dolar bagi kota Bandung tercinta ini. Keberadaan Pedagang kaki Lima ( PKL ) merupakan fenomena menarik dalam krisis yang berkepanjangan ini. Multipler Efect yang diakibatkan oleh Krisis Ekonomi yang perdananya dimulai tahun 1997 mengakibatkan kehancuran besar bagi dunia konglomerasi yang umumnya menguasai perekonomian Indonesia. maka lahirlah generasi baru dengan status pengangguran, baik berkeahlian maupun tidak. Ketidakseimbangan antara besarnya tenaga kerja yang tersedia dan kesempatan kerja melahirkan inisiatif baru bagi sebagian anggota masyarakat untuk tetap mempertahankan hidupnya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah menjadi PKL, meskipun itu bukan kehendak yang seharusnya mereka lakukan.

























BAB IV

PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YANG DIGUNAKAN OLEH PEMERINTAH TERHADAP PKL

Pada masa krisis moneter melanda Indonesia yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 yang ditandai dengan nilai tukar rupiah yang menurun tajam serta resesi global, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi sebuah keniscayaan. Di satu sisi, Negara akan disibukkan menjalankan fungsinya yang reguler untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional. Di sisi yang lain, masyarakat akan mencari pekerjaan alternatif untuk menopang kebutuhan hidupnya yang kian komplek. Pada saat inilah, lapangan kerja informal menjadi pilihannya. Salah satunya menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL).

Munculnya PKL bagai cendawan di musim hujan di saat naiknya harga-harga kebutuhan pokok serta sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok ini (PKL) mencoba mengais rizki dalam keterbatasan ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Memanfaatkan celah ruang kosong di jalan ataupun trotoar yang merupakan fasilitas umum. Kebanyakan dari mereka melaksanakan aktifitasnya di ruang-ruang publik di kawasan perkotaan.

Terpakainya badan jalan atau trotoar sebagai lokasi berjualan tentunya akan mengganggu pengguna jalan yang lain. Sebagai sesama warga masyarakat yang tentunya memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan fasilitas umum, hak pejalan kaki juga semestinya dilindungi oleh pemerintah. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak dibenarkan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang untuk mengosongkan fasilitas umum tersebut dari kegiatan yang dilakukan oleh PKL. Perlu pengaturan yang benar-benar bisa memihak dan menjamin terwujudnya kepentingan bersama.

Sikap etnis Sunda yang egaliter merupakan entry point positif untuk mendukung gerakan Pemda Kota Bandung dalam mengkapanyekan kebijakannya tentang PKL. Pendekatan yang selama ini mengutamakan Power akan mendapat perlawanan kuat dari para PKL ini, dan ini sudah tentu akan menciptakan persoalan baru bagi stabilitas kota. Inti kekuatan yang harus dibangun adalah partisipasi aktif anggota masyarakat pada lingkungannya. Sehingga timbul sensivitas untuk bertanggung jawab ( sense of responsibility ) dan sensivitas kepedulian untuk memiliki ( sense of belonging ). Dengan berbasiskan Relijius-Sosio-kultural dan pendekatan partispatif, niscaya program tersebut dapat disosialisasikan dan diaplikasikan. Sebagai contoh riel, Daurat Tauhit dengan santrinya telah mengaplikasikannya dan ini terlihat berhasil. Keterbatasan jumlah petugas merupakan faktor utama untuk tidak bisa mengawasi sepanjang waktu aktifitas PKL ini. Dan kecendrungan dilapangan masih banyak aparat yang hanya menarik retribusi tanpa memperhatikan keteraturan dan kedisiplinan PKL.



























BAB V
KESIMPULAN

Selama Bandung masih dalam proses pengembangan kota atau wilayahnya, maka akan terjadi persoalan persoalan yang muncul yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakatnya dan hal ini jelas sekali akan berpengaruh pada kehidupan perkotaannya. Akibat dari datangnya urbanisasi yang tidak jelas pola dan arahnya, kota Bandung menjadi limpahan dari para pedagang kecil yang memang sangat mengerti keuntungan dalam mencari nafkah disituasi kota seperti ini.

Dalam menangani perbagai masalah kota yang begitu semrawut, tidak cukup hanya dengan sebuah makalah yang tidak berisi konsep pengembangan kota yang menyeluruh, karena persoalan kota sangat menyangkut persoalan kehidupan kelompok manusia yang saling bergantungan satu sama lain sehingga didalam menyelesaikan persoalan yang timbul, kita harus tetap mempunyai komitmen kepada keseluruhan aspek yang sangat berkaitan dan juga apabila segala aspek sosial tidak dapat diakomodir, maka konsep sebaik apapun tidak akan berhasil untuk dilaksanakan.

Jadi dalam hal fenomena kaki lima ini, kota Bandung sampai saat ini masih belum bisa mempunyai solusi yang baik karena didalam penyelesaiannya ternyata sangat banyak berkaitan dengan dengan masalah sosial yang tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi, karena kehidupan sosial masyarakat kota sangat beragam dan juga sangat mempunyai ciri yang sulit untuk dianalisa dengan baik dan apabila masyarakat kaki lima kita arahkan untuk menjadi masyarakat pertokoan, jelas hal ini tidak akan berhasil karena antara masyarakat kaki lima dan masyarakat pertokoan sangat berbeda, sehingga penanganan keduanya pun sangat berbeda.

Lalu apa yang harus kita lakukan ?

Pertama : Kita harus melihat kota bukan sebagai tempat satu golongan manusia atau satu tingkat kehidupan masyarakat

Kedua : Dalam pengindentifikasian masalah harus ditekankan kepada masalah sosial yang sangat peka terhadap perkembangan keadaan politik dan situasi negara

Ketiga : Apabila terjadi suatu persoalan kota yang diakibatkan oleh pedagang kaki lima, kita harus melihatnya dari segi kehidupan kakilima dan dilema yang mereka hadapi

Keempat : Didalam kajian ilmiah masyarakat kota, kita harus melihat segi yang menyangkut kehidupan masyarakat bawah yang sangat memerlukan kehadiran pedagang kaki lima ini

Kelima : Apabila didalam suatu masyarakat kota tidak ada kelompok bawah ini, apakah kehidupan kota akan terjadi ?

Keenam : Didalam kelompok masyarakat kota, harus lebih dilihat akibat yang timbul apabila kelompok kaki lima ini tidak ada, dan hal ini harus ditinjau dari segi kehidupan sosial yang akan sangat mendominasi kehidupan kota

Ketujuh : Didalam kajian ilmiah mengenai perkotaan dari sisi Ruang Kota, maka harus dilihat Ruang Kota sebagai tempat kehidupan kota bukan sebagai dunia keindahan semata, jadi tidak mungkin kita menyelesaikan masalah perkotaan hanya dilihat dari segi keindahan kota.

Kedelapan: Dengan mengutamakan kaidah kebersamaan antara golongan dan tingkatan masyarakat kota, maka sudah sewajarnya kita mempunyai solusi yang berthema kebersamaan yang indah bukan keindahan untuk dinikmati bersama.

Kesembilan : Relokasi seluruh di satu kawasan dengan menggunakan alternatif relokasi dan formalisasi PKL di lahan kosong.



Masyarakat kaki lima pada umumnya adalah masyarakat yang mencoba bertahan hidup didalam situasi sesulit apapun dan mereka ini mempunyai mental yang cukup kuat dan apabila mereka dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, maka mereka akan dengan mudah mengatasi.

Disatu sisi, masyarakat ini sangat lemah dari keleluasaan dan juga sangat lemah terhadap hak azazi manusia karena dilain sisi dia mengharapkan adanya perlindungan hal mereka untuk berusaha, tetapi disisi lain kadang kadang mereka mengganggu hak azazi orang lain. Masalahnya, justru dalam hal inilah mereka berusaha karena ternyata mereka sangat memanfaatkan jalur sirkulasi yang ada didaerah pertokoan dan apabila hal ini didiamkan maka akan menjadi masalah serius bagi lingkungan setempat dan pada akhirnya menjadi masalah serius bagi perkotaan.

Jadi apabila kita melihat karakteristik masyarakat ini, kita juga tentunya tidak hanya melihat mereka hanya sebagai sampah kota yang membuat sepertinya kota menjadi buruk rupa, lebih dalam lagi kita justru melihat suatu aspek kehidupan penunjang masyarakat kota yang senantiasa menghendaki berbagai fasilitas kehidupan terpenuhi dengan mudah dan hal ini sangat erat berkaitan dengan karakteristik masyarakat dari golongan manapun.

Walaupun Pemerintah setempat berusaha sekuat tenaga atau mengeluarkan peraturan seketat apapun, golongan masyarakat ini tidak akan pernah bisa mengikuti peraturan ataupun rencana kota yang tidak memperlihatkan solusi bagi inti kehidupan mereka sehingga pada akhirnya terjadi main kucing kucingan antara aparat pemerintah dengan mereka, sehingga akibatnya pertumbuhan pedagang ini semakin subur dan menjadi lahan bagi aparat pemerintah karena ternyata mereka dapat dengan mudah mendapat ijin usaha ditempat manapun dan faktor ini merupakan salah satu pemicu berkembangnya pedagang kaki lima ini.

1 komentar:

  1. Implementasi sulit dilakukan karena
    1. Analisis lingkungan yang salah,
    2. Formulasi yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada.

    Model Strategic Management,meliputi:
    1. Analisis Lingkungan,
    2. Formulasi Strategi,
    3. Implementasi Strategi,
    4. Evaluasi.

    Masalah Implementasi bukan masalah yang terpisah/berdiri sendiri.

    BalasHapus

Berilah komentar anda yang bersifat membangun dan sopan.