Kamis, 26 November 2009

Politik dan Strategi Nasional


Politik dan strategi nasional


Politik (etimologis) adalah segala sesuatu yag berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari sekelompok masyarakat (negara). Secara umum politik mempunyai dua arti, yaitu poplituik dalam arti kepentingan umum (politics) dan politik dalam arti kebijakan (policy). Politik dalam arti politics adalah rangkaian asas/prinsip, keadaan, jalan, cara atau alat yag akan digunakan untuk mencapai tujuan. Sedangkan politik dalam arti policy adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang dapat menjamin terlaksananya usaha untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita yang dikehendaki.


Dapat disimpulkan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem negara dan upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan itu, pengambilan keputusan (decisionmaking) mengenai seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Untuk melaksanakan tujuan itu diperlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada.


Strategi Nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional, yakni merupakan pelaksanaan dari kebijakansanaan nasional. dalam melaksanakan politik nasional disusun strategi nasional, seperti jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.


Dasar Pemikiran Penyusunan Politik dan Strategi Nasional

Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.


Penyusunan Politik dan Strategi Nasional

Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama ini disusun berdasarkan sistem kenegaraaan menurut UUD 1945. sejak tahun 1985 telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa jajaran pemerintah dan lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 merupakan “suprastruktur politik”. Lebaga-lembaga tersebut adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA. Sedangkan badan-badan yang ada dalam masyarakat disebut sebagai “infrastruktur politik”, yang mencakup pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan kelompok penekan (pressure group). Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.


Mekanisme penyusunan politik dan strategi nasional di itngkat suprastruktur politik diatur oleh presiden/mandataris MPR. Sedangkan proses penyusunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politk dilakukan setelah presiden menerima GBHN.



Strategi nasional dilaksanakan oleh para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan petunjuk presiden, yang dilaksanakan oleh presiden sesungguhnya merupakan politik dan strategi nasional yang bersifat pelaksanaan.


Pandangan masyarakat terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun bidang Hankam akan selalu berkembang karena:

a. Semakin tinggina kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Semakin terbukanya akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya.

c. Semakin meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

d. Semakin meningkatnya kemampuan untuk mengatasi persoalan seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

e. Semakin kritis dan terbukanya masyarakat terhadap ide baru.


Stratifikasi Politik dan Strategi Nasional

stratifikasi kebijakan nasional dalam NKRI, meliputi :

a.Tingkat Penentu Kebijakan Puncak

b.Tingkat Kebijakan Umum

c.Tingkat Penentu Kebijakan Khusus

d.Tingkat Penentu Kebijakan Teknis.

Tingkat Penentu Kebijakan Puncak meliputi kebijakan tertinggi yang lingkupnya nasional mencakup penentuan Undang-undang Dasar, dan yang berkaitan dengan masalah makro politik bangsa dan negara.

Penentu kebijakan puncak adalah kewenangan presiden sebagai kepala negara. Bentuk hukum yang dikeluarkan berupa Dekrit, Peraturan atau piagam Kepala Negara.

Tingkat Penentu Kebijakan Umum merupakan tingkat kebijakan dibawah Tingkat Kebijakan Puncak yang lingkupnya juga nasional dan ditekankan pada masalah makro strategis guna mencapai situasi dan kondisi tertentu yang diharapkan.

Bentuk hukum yang dihasilkan adalah UU, PP, Keputusan atau Instruksi Presiden, dalam keadaan tertentu dapat dikeluarkan Maklumat Presiden.

Tingkat penentuan kebijakan khusus merupakan kebijakan umum yang merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama pemerintahan.

*Wewenang kebijakan khusus terletak pada menteri berdasarkan dan sesuai dengan kebijakan pada tingkat di atasnya.

*Bentuk hukum yang dikeluarkan berupa Peraturan

Menteri, Kepmen, Instruksi Menteri, Surat Edaran Menteri.

Tingkat Penentuan Kebijakan Teknis ditekankan pada suatu sektor bidang utama dalam bentuk prosedur dan teknik implementasi rencana, program dan kegiatan.

*Wewenang pengeluaran kebijakan teknis terletak pada pimpinan eselon pertama Departemen Pemerintahan dan Pimpinan Lembaga-lembaga Non-Departemen.

*Hasil penentuan kebijakan berupa Peraturan, Keputusan, Instruksi Pimpinan Lembaga Non-Departemen atau Direktur Jenderal.


Politik Dalam Dalam Negeri Negeri/Daerah: Tanggulangi Ancaman Global, Trans National Crime, Terrorism, Radicalism, Separatism, Perkuat Sistem Demokrasi, Balance of Power, Transparansi, Perkuat yang lemah, kontrol yang kuat, otonomi Daerah Secara Konsisten, Langkah Sistematik & Berlanjut, perkuat hubungan2 antar daerah

Kamis, 12 November 2009

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA ANGKA KEMATIAN IBU DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

  1. PENDAHULUAN


Beberapa fakta memperlihatkan komponen demografi yang juga merupakan pencerminan dari struktur penduduk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan dan sangat terkait dengan penyebab kemiskinan. Komponen tersebut antara lain adalah : fertilitas ( kelahiran ), mortalitas ( kematian), dan mobilitas penduduk. Mortalitas sebagai komponen dalam demografi merupakan komponen yang penting untuk diteliti karena memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, apakah akan berkembang, statis ataupun gagal untuk bertahan. Kesejahteraan ibu dan anak yang dipengaruhi oleh komponen mortalitas terkait erat dengan proses kehamilan, kelahiran dan paska kelahiran. Ketiga periode tersebut akan menentukan kualitas sumber daya manusia yang akan datang.

Tinggi rendahnya angka mortalitas juga mempengaruhi jumlah penduduk serta menjadi tolak ukur tingkat kesehatan masyarakat dan standar kehidupan suatu kelompok masyarakat. (Arthur Haupt and Thomas T. Kane, Population Handbook, 2001).Mortalitas adalah hilangnya tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (Budi Utomo, 1985).

Masalah kesehatan dan mortalitas sangat erat hubungannya dengan Angka Kematian Ibu (AKI) atau lebih dikenal dengan istilah maternal mortality (kematian maternal). Kematian maternal adalah kematian perempuan hamil atau kematian dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa mempertimbangkan umur dan jenis kehamilan sebagai komplikasi persalinan atau nifas, dengan penyebab terkait atau diperberat oleh kehamilan dan menajemen kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan.

Ukuran tingkat kematian ibu (the maternal mortality rate) selain dimanfaatkan sebagai indikator kesehatan juga digunakan sebagai indikator kesejahteraan rakyat atau kualitas pembangunan manusia (IPM/HDI), hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perubahan ukuran-ukuran tersebut sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kematian maternal dimaksud tidak disebabkan oleh kurang efektifnya pencegahan kematian, akan tetapi lebih kepada 1) pelanggaran terhadap hak perempuan, 2) kondisi sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan, dan 3) ketidaksetaraan gender. Selain itu faktor sikap dan perilaku ibu, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, keterlambatan pemeriksaan kehamilan, merokok, dan tindak kekerasan selama kehamilan, juga turut meningkatkan resiko kematian maternal,. Kematian maternal di negara berkembang yang terjadi dirumah sakit sebagian besar (40-60 %) disebabkan oleh komplikasi kehamilan, sementara di negara maju untuk penyebab yang sama hanya mencapai 1, 2-8 %.

Di Indonesia angka kematian maternal masih sangat tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup sehingga menempatkan

Indonesia

pada urutan kedua untuk jumlah kematian martenal di antara negara-negara ASEAN lainnya. Terlepas dari berbagai strategi yang digunakan

Indonesia

untuk menurunkan angka kematian maternal tiap tahunnya, penurunan angka tersebut relatif masih sangat rendah.

Laporan Kependudukan

Indonesia

pada tahun 2004 memperlihatkan kematian maternal di Indonesia yang cukup tinggi. Sepuluh tahun setelah Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo, Angka Kematian Ibu melahirkan di Indonesia masih cukup tinggi dan belum dapat diturunkan secara signifikan, serta jauh dari target internasional ICPD yaitu di bawah 125/100.000 kelahiran hidup tahun 2005 dan 75 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015. Departemen Kesehatan menargetkan tahun 2010 angka kematian ibu turun menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup. Akan tetapi sampai saat ini belum ada hasil yang signifikan terhadap penurunan angka kematian ibu. Beberapa Program Inovatif untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu yang pernah dilaksanakan pada daerah tertentu adalah:

1. Tahun 1996 s/d sekarang:Gerakan Sayang Ibu /GSI (Depkes-Depdagri)

2. Tahun 1994 s/d sekarang: Buku KIA (JICA)

3. Tahun 1996 s/d sekarang: Kangoro Mother Care /KMC (PERINASIA)

4. Tahun 1998-2004: Safe Motherhood:Partnership Family Approach

(World Bank)

5. Tahun 2000-2003: Awal Sehat untuk Hidup Sehat /ASUH (PATH-USAID)

6. Tahun 2002-Juni 2006:Women Health and Family Welfare (AusAid)

7. Tahun 2004 s/d sekarang :Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja /PIK-KRR (BKKBN)

Tetapi program-program tersebut belum bisa menurunkan angka kematian ibu.

Tiga faktor utama penyebab kematian ibu di Indonesia adalah 1) Faktor medis (langsung dan tidak langsung), 2) Faktor sistem pelayanan (sistem pelayanan antenatal, sistem pelayanan persalinan dan sistem pelayanan pasca persalinan dan pelayanan kesehatan anak), 3) Faktor ekonomi, sosial budaya dan peran serta masyarakat (kurangnya pengenalan masalah, terlambatnya proses pengambilan keputusan, kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, pengarusutamaan gender, dan peran masyarakat dalam kesehatan ibu dan anak) .

Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam penurunan Angka Kematian Ibu adalah peningkatan keterjangkauan (akses) dan kualitas pelayanan kesehatan maternal dan peningkatan kualitas pelayanan pada saat dan pasca persalinan (13% kematian martenal disebabkan oleh aborsi dan di dunia terjadi 55000 kali aborsi setiap harinya, 95% diantaranya terjadi di negara berkembang). Selain itu penurunan angka kematian ibu dapat dilaksanakan melalui beberapa fase atau tahapan yaitu 1) Pada masa sebelum masa kehamilan, yaitu perilaku sehat termasuk nutrisi, aktivitas fisik, perawatan sebelum konsepsi, menghindari substansi yang membahayakan alat reproduksi, 2) Perencanaan masa kehamilan, yaitu dengan perawatan kehamilan awal yang berkualitas, pengetahuan gejala dan timbulnya tanda munculnya masalah, 3) Pada masa persalinan yaitu melakukan persalinan yang sehat, persalinan disaat yang tepat dengan intervensi minimal, serta bantuan pada pasca persalinan yang disertai penyuluhan serta pemeliharaan kualitas kesehatan lingkungan.

Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan tingkat maternal mortality yang cukup tinggi, yaitu 370/100.000 kelahiran hidup merupakan salah satu daerah rentan akan permasalahan maternal mortality dan perlu mendapatkan perhatian, sehubungan dengan kurang berhasilnya berbagai strategi yang ditempuh dalam memecahan masalah besar tersebut , sehingga perlu adanya penelitian khusus guna melihat factor-faktor penyebab tingginya maternal mortality di daerah tersebut.

  1. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui tingginya kematian maternal di daerah Nusa Tenggara Barat dan untuk melihat faktor-faktor penyebab tingginya kematian maternal di Nusa Barat

  1. METODE PENULISAN

Metode yang di gunakan untuk penulisan adalah menggunakan studi deskriptif.

  1. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran tingkat kematian ibu (the maternal mortality rate) selain dimanfaatkan sebagai indikator kesehatan juga digunakan sebagai indikator kesejahteraan rakyat atau kualitas pembangunan manusia (IPM/HDI), hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perubahan ukuran-ukuran tersebut sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat Tidak meratanya tingkat angka kematian ibu di Indonesia di tiap daerah, disebabkan oleh perbedaan kualitas pelayanan kesehatan di tiap daerah di Indonesia serta perbedaan latar belakang kondisi ekonomi, sosial dan budaya dari tiap kelompok masyarakat di tiap daerah. Kasus seperti kasus kekerasan dalam keluarga, perdagangan, tekanan budaya dan adat istiadat, tingkat pendidikan yang rendah, dan dominasi pria dalam rumah tangga yang menimpa sebagian besar perempuan merupakan penyebab yang juga turut mengakibatkan tingginya angka kematian ibu.

Provinsi dengan kasus kematian ibu melahirkan tertinggi adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 730/100.000 kelahiran hidup, diikuti Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 370/100.000 kelahiran hidup, Provinsi Maluku sebesar 340/100.000 kelahiran hidup, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 330/100.000 kelahiran hidup. Jumlah ini tidak terlalu banyak berubah sejak masa orde baru. Tidak ada perbaikan yang terlihat dalam penurunkan angka kematian ibu. Hingga kini permasalahan tingginya angka kematian ibu pada masa kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran masih merupakan masalah besar yang dihadapi masyarakat dan pusat-pusat pelayanan kesehatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Faktor penyebab tingginya angka kematian ibu di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) diantaranya disebabkan belum adanya kesadaran dari berbagai elemen -elemen masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu, tidak terpenuhinya kebutuhan akan pelayanan kesehatan atau terbatasnya tempat pelayanan kesehatan, juga letak geografis daerah yang sukar di jangkau oleh tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan, disamping perbedaan latar belakang kondisi ekonomi, sosial budaya di daerah tersebut. Disamping itu, lemahnya dukungan dan perhatian pemerintah daerah setempat terhadap kaum perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Barat turut mempengaruhi tingginya angka kematian ibu di daerah tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan serta program-program yang dikeluarkan, serta minimnya dana yang dikeluarkan untuk kesehatan ibu atau untuk menekan angka kematian ibu.

Faktor penyebab lainnya adalah hubungan tidak harmonis antara dukun tradisional dan bidan desa, sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap persalinan atau proses kelahiran harus ditangani oleh bidan desa atau dokter. Dukun di desa yang sebelumnya memegang peranan penting dalam proses kelahiran di daerah yang sulit dijangkau harus mengikuti anjuran dari pemerintah. Namun, karena terbatasnya tenaga medis (bidan desa serta dokter) serta medan geografis yang sulit dijangkau membuat tenaga medis tidak bisa segera memberikan bantuan persalinan ibu yang akan melahirkan. Hal tersebut mengakibatkan kondisi ibu yang akan melahirkan kritis dan akhirnya proses kelahiran kembali ditangani oleh dukun tradisional, yang notabene tinggal berdekatan dengan pasien. Akibatnya timbul asumsi pada masyarakat bahwa tingginya angka kematian ibu disebabkan karena tindakan dukun tradisional dalam proses persalinan, bukan karena keterlambatan penanganan dalam proses kelahiran.

Minimnya atau tebatasnya tempat pelayanan kesehatan juga mempengaruhi tingkat angka kematian ibu di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang cukup tinggi. Masalah tersebut timbul disebabkan banyaknya lokasi yang sulit dijangkau dan juga kurangnya tenaga medis terlatih untuk menangani masalah – masalah kesehatan terutama pertolongan ibu yang akan melahirkan. Hal ini turut didukung dengan kurangnya penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan ibu (kurangnya pemberian materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi/KIE) sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan ibu, seperti pengetahuan akan masa sebelum kehamilan, saat hamil, atau paska persalinan, atau pentingnya asupan gizi bagi ibu hamil.

Masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Barat juga menyebabkan tingginya angka kematian ibu, menurut data dari Depertemen Pendidikan Nasional 2002/2003 menyebutkan bahwa angka buta aksara di daerah tersebut adalah sebanyak 108 untuk laki-laki dan 900 untuk perempuan. Faktor ketidakmampuan membaca dan menulis tersebut turut mengakibatkan kurangnya informasi atau pengetahuan yang di dapat oleh masyarakat provinsi tersebut.

Banyak ditemukannnya kasus ketidaksetaraan gender di masyarakat, membuat perempuan menjadi nomor dua dan laki-laki yang berkuasa. Membuat perempuan hanya bisa menerima dan menurut saja. Mengakibatkan timbul tindak kekerasan terhadap perempuan, perempuan tidak bisa melawan atau memiliki suara. Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan berbasis ketidakadilan gender yang terjadi pada masyarakat. Gerakan suami siaga (siap antar jaga) pun kurang mengubah keadaan, karena rendahnya tingkat partisipasi pria di daerah tersebut.

Faktor sosial budaya juga menjadi salah satu penyebab buruknya kondisi kesehatan dan gizi kaum perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kondisi kesehatan ibu dan anak bayi sangat buruk, tetapi tidak diperhatikan karena dinilai bukan kebutuhan mendesak.

Mungkin masih terdapat banyak faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat proses penurunan angka kematian ibu di Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka diperlukan peran serta semua pihak untuk bisa menekan tingginya angka kematian ibu.

  1. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1. Masih tingginya angka kematian ibu di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu 370/100.000 kelahiran hidup harus menjadi perhatian kita semua, karena tingginya angka kematian ibu merupakan gambaran rendahnya kualitas sistem pelayanan kesehatan dan standar hidup di Indonesia serta kurangnya sosialisasi masalah kesehatan reproduksi kepada para ibu di desa-desa terpencil yang jauh dari jangkauan pelayanan sarana kesehatan.

2. Selain faktor kesehatan, faktor lain yang ikut mempengaruhi angka kematian ibu adalah terbatasnya fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan, letak geografis yang sulit dijangkau, dan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, serta kurangnya kesadaran dan dukungan dari pemerintah daerah setempat dan elemen masyarakat akan pentingnya kesehatan ibu.

5.2 SARAN

Untuk menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi diperlukan peran serta semua pihak, langkah-langkah yang dapat diambil diantaranya adalah:

1. Memberikan advokasi kepada para pemegang kebijakan, agar dapat membantu mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan program-program guna penurunan angka kematian ibu

2. Memberikan KIE kepada setiap elemen masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan penurunan angka kematian ibu

3. Menambah dan melatih tenaga-tenaga kesehatan agar bisa membantu pengentasan masalah kesehatan khususnya membantu dalam proses persalinan ibu

4. Memberikan pelatihan kepada dukun tradisional dan mengikutsertakan dukun tradisional pada sistem rujukan dalam proses persalinan ibu melahirkan sehingga proses persalinan ibu dapat ditangani oleh tenaga-tenaga professional

5. Perlu ditingkatkannya akses pada sarana dan pelayanan kesehatan sehingga dapat menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil

6. Mengubah paradigma masyarakat mengenai pentingnya kesehatan ibu dan peran serta para ibu dalam proses menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan.


DEMOKRASI DAPAT BERANTAKAN

Pemikiran yang baik tentang demokrasi selalu mengenai moral dan hak kekuasaan yang kokoh dari kekuatan politik itu semua di tolak karena kekuatan yang sewenang-wenang.Suatu pemikiran yang salah tentang demokrasi itu dapat membuat keributan dan berantakan terutama ketika masyarakat tidak cukup disiplin pada pelaksanaan hukum.Di bandingkan dengan tipe rezim politik yang lain seperti monarki mutlak,paham kepatuhan,diktator militer,komunis dan fasis.Demokrasi lebih baik demi kepentingan masyarakat. Demokrasi dengan disiplin pribadi lebih efektif dengan pelaksanaan hukumdan kekuatan pemimpin. Sistem demokrasi baik untuk di gunakan di Indonesia.

Orang dapat frustasi ketika dia memeliki pemikiran demokrasi yang jauh dari bandsa Indonesia. Demokrasi yang di pelajari di buku merupakan kombinasi yang baik dari anarki dan politik liberal yang tidak terkontrol. Demokrasi baru di Indonesia ada 2 macam,pertama ketika melakukan norma demokrasi mereka tidak hanya berpolitik tetapi negarawan juga mengemulasi warga negara. Kedua kelompok orang yang menyebut diri mereka “free riders”mereka menyalahgunakan demokrasi untuk ambisi mereka.Indonesia memilik masalah bahwa prinsip demokrasi diperkenalkan untuk sistem mereka ketika institusi negara berada di kapasitas bawah pada peninggalan kekuasaan rezim Soeharto. Faktanya sejak merdeka Indonesia tidak berkembangdan menghapus negara modern.Demokrasi barat menjadi perangkap karena proses yang dilakukan adalah membangun negara 100 tahun kemudian indonesia tidak memiliki hak istimewa tapi suatu hari akan mengembangkan institusi negara yang profesional jika ingin memiliki demokrasi.Prinsip pertama dari pancasila adalah percaya pada satu dan hanya Tuhan,menceritakan bahwa Indonesia bukan negara duniawi,tetapi negara yang memiliki kepercayaan pada agana.Pesan dari prinsip itu adalah negara meletakan kekuasaan Tuhan di atas segalanya.

Perguruan tinggi memiliki respon yang baik dengan mempersiapkan generasi muda untuk menghargai waktu dan mereka menjadi politikus atau birokrat tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual tetapi juga integritas moral. Secara relatif moral merupakan ide yang bahaya,demokrasi menjadi pengatur hilangnya prinsip moral.Pemikiran yang baik tentang ideologi negara yang memberikan suatu temp[at yang baik terhadap pengetahuan adanya kedaulatan Tuhan yang dapat mengatur semua orang. Demokrasi menjadi susah di pahami secara khusus.Suatu ketika guru menjadi pemandu siswanya untuk peduli terhadap lingkungan sosial dan tidak mengembangkan moral yang beraneka ragam.Guru mengarahkan siswa-siswinya untuk menyumbang positif dengan memecahkan semua masalah mereka di masyarakat di mulai dari sikap mereka di lingkungan.Demokrasi hanya instrumen orang di organisasi kehidupan sosial supaya memiliki pemikiran publik yang baik.

DEMOKRASI DAPAT BERANTAKAN

Pemikiran yang baik tentang demokrasi selalu mengenai moral dan hak kekuasaan yang kokoh dari kekuatan politik itu semua di tolak karena kekuatan yang sewenang-wenang.Suatu pemikiran yang salah tentang demokrasi itu dapat membuat keributan dan berantakan terutama ketika masyarakat tidak cukup disiplin pada pelaksanaan hukum.Di bandingkan dengan tipe rezim politik yang lain seperti monarki mutlak,paham kepatuhan,diktator militer,komunis dan fasis.Demokrasi lebih baik demi kepentingan masyarakat. Demokrasi dengan disiplin pribadi lebih efektif dengan pelaksanaan hukumdan kekuatan pemimpin. Sistem demokrasi baik untuk di gunakan di Indonesia.

Orang dapat frustasi ketika dia memeliki pemikiran demokrasi yang jauh dari bandsa Indonesia. Demokrasi yang di pelajari di buku merupakan kombinasi yang baik dari anarki dan politik liberal yang tidak terkontrol. Demokrasi baru di Indonesia ada 2 macam,pertama ketika melakukan norma demokrasi mereka tidak hanya berpolitik tetapi negarawan juga mengemulasi warga negara. Kedua kelompok orang yang menyebut diri mereka “free riders”mereka menyalahgunakan demokrasi untuk ambisi mereka.Indonesia memilik masalah bahwa prinsip demokrasi diperkenalkan untuk sistem mereka ketika institusi negara berada di kapasitas bawah pada peninggalan kekuasaan rezim Soeharto. Faktanya sejak merdeka Indonesia tidak berkembangdan menghapus negara modern.Demokrasi barat menjadi perangkap karena proses yang dilakukan adalah membangun negara 100 tahun kemudian indonesia tidak memiliki hak istimewa tapi suatu hari akan mengembangkan institusi negara yang profesional jika ingin memiliki demokrasi.Prinsip pertama dari pancasila adalah percaya pada satu dan hanya Tuhan,menceritakan bahwa Indonesia bukan negara duniawi,tetapi negara yang memiliki kepercayaan pada agana.Pesan dari prinsip itu adalah negara meletakan kekuasaan Tuhan di atas segalanya.

Perguruan tinggi memiliki respon yang baik dengan mempersiapkan generasi muda untuk menghargai waktu dan mereka menjadi politikus atau birokrat tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual tetapi juga integritas moral. Secara relatif moral merupakan ide yang bahaya,demokrasi menjadi pengatur hilangnya prinsip moral.Pemikiran yang baik tentang ideologi negara yang memberikan suatu temp[at yang baik terhadap pengetahuan adanya kedaulatan Tuhan yang dapat mengatur semua orang. Demokrasi menjadi susah di pahami secara khusus.Suatu ketika guru menjadi pemandu siswanya untuk peduli terhadap lingkungan sosial dan tidak mengembangkan moral yang beraneka ragam.Guru mengarahkan siswa-siswinya untuk menyumbang positif dengan memecahkan semua masalah mereka di masyarakat di mulai dari sikap mereka di lingkungan.Demokrasi hanya instrumen orang di organisasi kehidupan sosial supaya memiliki pemikiran publik yang baik.

Jumat, 25 September 2009

kabupaten nias utara


Kabupaten Nias Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kabupaten ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias.

Daftar isi:
1. Daftar Kecamatan
2. Batas Wilayah
3. Daerah-daerah otonomi yang diresmikan pada tanggal yang sama

Kabupaten Nias Utara
-
Lambang Kabupaten Nias Utara
-
Peta lokasi Kabupaten Nias Utara
Koordinat : -
Motto: -
Provinsi Sumatra Utara
Ibu kota Kecamatan Lotu
Luas 1.202,78 km²
Penduduk
· Jumlah 127.703 (2007)
· Kepadatan 106 jiwa/km²
Pembagian administratif
· Kecamatan -
· Desa/kelurahan -
Dasar hukum UU Nomor 45 Tahun 2008
Tanggal 26 November 2008
Bupati -
Kode area telepon -
DAU -
Suku bangsa -
Bahasa -
Flora resmi -
Fauna resmi -
Zona waktu WIB

Situs web resmi: -

1. Daftar Kecamatan

  1. Afulu
  2. Alasa
  3. Alasa Talumuzoi
  4. Lahewa
  5. Lahewa Timur
  6. Lotu
  7. Namohalu Esiwa
  8. Sawo
  9. Sitolu Ori
  10. Tugala Oyo
  11. Tuhemberua

2. Batas Wilayah

Utara Samudera Indonesia
Selatan Kecamatan Botomuzoi, Kecamatan Hiliduho, Kecamatan Mandrehe, Kecamatan Mandrehe Utara, dan Kecamatan Moro'o
Barat Samudera Indonesia
Timur Samudera Indonesia, Kecamatan Gunung Sitoli Alo'oa, dan Kecamatan Gunung Sitoli Utara





Kamis, 17 September 2009

Deskripsi masalah implementasi kebijakan tentang PKL

BAB I

DESKRIPSI MASALAH KEBIJAKAN



Pertumbuban penduduk yang tinggi di daerah perkotaan menimbulkan berbagai permasalahan yang rumit, karena pihak pemerintah khususnya pemerintah kota belum bisa atau lamban mengantisipasi adanya peningkatan penduduk yang cepat misalnya dengan pengadaan lahan pemukiman, kesempatan kerja, penyediaan sarana dan prasarana dan sebagainya. Salah satu permasalahan yang timbul selain dari kriminalitas, penggangguran, sampah, banjir dan sebagainya adalah masalah keberadaan pedagang kaki lima (PKL).

Efek yang ditimbulkan dari keberadaan PKL ini dengan pola ketidakteraturannya misalnya menciptakan kawasan kumuh, kesemrawutan, kemacetan lalu lintas dan mengurangi keindahan atau estetika kota. Permasalahan PKL ini runtut sejak awal dan semakin besar serta tidak mudah teratasi akibat arus migrasi yang tidak pernah berhenti. Dan kebijakan demi kebijakan telah diterapkan pemerintah khususnya pemerintah kota, namun hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, kebijakan apa yang telah dilaksanakan pemerintah kota dan bagaimana penerapannya dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima tersebut ? kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dan kendala yang dihadapi serta responsivitas PKL atas kebijakan tersebut.

Sektor informal kini menjadi kebijakan eksplisit dalam pembangunan Nasional, yang mana sektor informal diharapkan dapat berperan sebagai "Katup Penyelamat" dalam menghadapi masalah lapangan kerja bagi angkatan kerja yang tidak dapat terserap dalam sektor modern/formal. Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan seperti menggangu pergerakan pejalan kaki atau menyebabkan kemacetan lalu lintas di kawasan Jl. Asia Afrika, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum (public land).

Pada umumnya PKL dalam kegiatannya seringkali menempati ruang-ruang publik sehingga mengganggu lingkungan dan fungsi kota, menyebabkan kemacetan, merusak pemandangan dan lain-lain.

  1. Berdasarkan keterkaitan ruang, PKL yang berada di wilayah studi masih berada dalam radius berjalan kaki sehingga kegiatan makan siang pekerja perkantoran Jl. Asia Afrika mampu diakomodasi oleh PKL,

  2. Berdasarkan keterkaitan waktu, jam beroperasi PKL masih dalam rentang jam makan siang pekerja perkantoran sehingga kegiatan makan siang pekerja mampu diakomodasi oleh PKL,

  3. Berdasarkan keterkaitan kegiatan, PKL di sekitar wilayah studi mayoritas berjualan makanan yang dibutuhkan untuk mengakomodasi kegiatan makan siang pekerja perkantoran,

  4. Berdasarkan persepsi dan preferensi pekerja Jl. Asia Afrika dan PKL, sebagian besar lebih suka jika relokasi dilakukan di jalan-jalan kecil bukan di pelataran parkir perkantoran.

PKL bagi pemerintah kota sering dianggap sebagai perusak keindahan kota dan penyebab kesemrawutan dan kemacetan. Padahal di sisi lain, PKL mempunyai peranan penting di dalam perekonomian perkotaan. Pada sebuah seminar yang disponsorip LGSP USAID, GKG Laksaketi menyebutkan bahwa nilai transaksi perdagangan sektor informal/PKL mencapai 2.68 Triliun, walaupun hal ini dibantah oleh perwakilan Pemkot Bandung di seminar yang sama karena PDRB Kota Bandung tidak memperhitungkan kontribusi sektor informal/PKL. Selain itu, klaim bahwa PKL penyebab kemacetan dan ketidakteraturan juga cenderung menyamaratakan PKL sebagai satu-satunya biang kerok. Padahal secara kasat mata kita melihat bahwa pertumbuhan factory outlets dan mal seperti PvJ juga menyebabkan kemacetan yang luar biasa di kota Bandung.

Penanganan PKL cenderung bersifat represif melalui penggusuran, sementara penataan atau pengaturan cenderung mengabaikan karakter PKL sendiri. Pemindahan PKL di daerah Alun-alun ke dalam arena Dezone misalnya, atau PKL di Karapitan ke lantai paling bawah dari mal, menempatkan PKL pada posisi yang tidak strategis sehingga ketika dagangan mereka tidak laku, akhirnya mereka kembali ke jalan.

Alasan ketiadaaan lahan untuk arena PKL sebenarnya kurang tepat jika kita bandingkan berapa lahan yang bisa disediakan pemerintah Kota Bandung untuk pembangunan pusat perbelanjaan modern dan mal-mal mewah, yang sebenarnya sudah terlalu banyak untuk Kota Bandung. Pemda Kota Bandung dapat belajar dari Kota Solo dalam penangaan PKL yang lebih persuasif. Kami berhipotesis bahwa PKL pada dasarnya bersedia bekerjasama untuk menciptkaan keindahan dan ketertiban kota Bandung, sepanjang bahwa ajakan ini disampaikan dengan persuasif. Oleh karena itu langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah 1) melakukan pemetaan terhadap lokasi PKL serta karakteritstiknya 2) memetakan lokasi2 strategis milik Pemda (Pemda bisa menjadi investornya) untuk dibangun pasar-pasar tradisional) 3) Melakukan dialog dengan PKL termasuk menerima masukan PKL agar desain pasar maupun lokasi baru tetap bersahabat dengan PKL dan kelompok konsumennya






























BAB II

DESKRIPSI KEBIJAKAN PUBLIK


Keberadaan PKL yang menimbulkan dilematis tersendiri bagi pemerintah menuntut kebijaksanaan dalam proses penyelesaiannya. Konflik yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal: pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.

Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah Kota seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

Selama ini, pemerintah menganggap kebijakan relokasi merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios­-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.

Pemerintah kota dalam memandang keberadaan Pedagang Kaki Lima merupakan pihak atau sektor informal yang mengganggu ketertiban dan keindahan kota, sehingga keberadaanya perlu disingkirkan atau ditertibkan menjadi sektor formal. Selama ini, sikap Pemerintah Kota seringkali menggunakan perspektif teknokratis dalam membuat kebijakannya. Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya ruang aspirasi bagi pedagang kaki lima dan cenderung bersifat top down. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi tersebut, pemerintah mendefinisikan permasalahan PKL dengan logikanya sendiri, tanpa mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh PKL.

Ketakutan PKL atas terganggunya pemasaran atau berkurangnya pembeli menjadi alasan untuk melakukan penolakan. Meski di luar itu, banyak pihak yang melakukan intervensi juga terhadap keberadaan PKL, preman misalnya. Selain itu, PKL merasa tidak pernah dilibatkn dalam pembuatan kebijakan, sehingga PKL menganggap tidak ada kejelasan dari pemerintah mengenai konsep relokasi. Pemerintah juga dinilai tidak adil dalam menangani keberadaan PKL karena di tempat lain Pemerintah tidak melakukan penertiban. Konteks tersebutlah yang menyebabkan munculnya konflik vertikal, yaitu ketika Pemerintah memiliki otoritas atau instrumen kekerasan untuk melaksanakan agenda kebijakannya yang tidak aspiratif, sedangkan pedagang tidak memiliki kekuatan dan akses untuk menyalurkan dan mempertahankan kepentingannya.

Faktor pemicu munculnya konflik vertikal antara pemerintah dengan PKL adalah munculnya kebijakan relokasi Pemerintah Kota secara sepihak, tanpa adanya sosialisasi, pelibatan dan dialog dengan paguyuban pedagang kaki lima dalam agenda setting kebijakannya. Sehingga tidak terdapat negosiasi di antara dua kepentingan yang berbeda.

Kota Bandung, sebagai kota jasa dengan angka pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 mencapai 2,54 juta , merupakan pasar potensial bagi pelaku dunia usaha termasuk PKL. Kota jasa sebagai prioritas kampanye Pemda Kota Bandung, merupakan dukungan tidak langsung dalam menggairahkan sebagian masyarakat menerjuni usaha berupa PKL. Dari data statistik yang terkumpul, pada tahun 1997, PKL dikota Bandung sekitar 3000 unit, meningkat pada tahun 1997 menjadi 9000 unit dan sungguh dramastis pada tahun 2000 menjadi 16.880 unit. Pertumbuhan dari tahun 1997 sampai tahun 2000 sebesar 563 % dalam waktu tiga tahun. Tingginya persentase pertumbuhan PKL ini diakibatkan oleh maraknya PHK dan minimnya kesempatan kerja, serta dampak kebebasan dari arus reformasi yang salah diartikan oleh sebagian anggota masyarakat. PKL merupakan struktur kelompok usaha terbawah dalam jenjang dunia dagang, tak sedikit pengusaha besar merintis usahanya sebagai PKL diawal karirnya. Akan sangat berarti jika keberadaan PKL yang pertumbuhannya terus meningkat bisa dimanfaatkan sebagai aset untuk menggerakkan Bandung sebagai kota jasa. Dalam kajian normatif kondisi ini akan tergambarkan jika kenyataan dilapangan sesuai dengan harapan kita. Yang sudah tentu akan menciptakan kota Bandung yang genah merenah, tumaninah. Serta sesuai dengan motto kota Bandung BERHIBER ( bersih, hijau dan berbunga ).

Secara Yuridis konsep dan model terpadu yang mengatur pembinaan PKL dituangkan dengan keputusan Walikotamdya kepala daerah Tingkat II bandung Nomor : 624 tahun 1999, tanggal 18 Desember 1999, tentang pengaturan PKL di Kotamadya Bandung yang di Implementasikan dengan pembentukan Tim pengaturan dan Pembinaan PKL di Kota Bandung yang dituangkan dalam keputusan walikota bandung nomor : 625 Tahun 1999, tanggal 18 Desember 1999, yang pada dasarnya dalam rangka memberdayakan PKL yang kemudian pada gilirannya nanti menjadi pedagang formal, dengan memiliki tempat berjualan yang repsentatif. Niat baik Pemda Kota Bandung tersebut malah terlihat sebatas kebijakan formal, jika kita melihat kenyataan dilapangan.

Membanjirnya PKL membutuhkan penanganan yang baik agar tidak menimbulkan kerugian pada kelompok masyarakat yang lain terutama pengguna jalan. Untuk hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pedagang Kaki Lima (PKL). Perda tersebut dibentuk berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

  1. PKL sebagai individu warga masyarakat perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan usahanya dalam rangka mendukung perkembangan ekonomi sektor informal;

  2. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Kabupaten Sleman telah menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum menimbulkan gangguan ketentraman, ketertiban masyarakat, kebersihan lingkungan (K3), dan kelancaran lalu lintas sehingga perlu dilakukan pengaturan agar tercipta tertib sosial dan ketentraman masyarakat;



Kenyataan berbicara lain, pertumbuhan yang senantiasa tidak diikuti dengan penataan dan penegakan hukum malah melahirkan ketidaknyamanan yang pada akibatnya menimbulkan berbagai masalah yang multidimensi dalam kehidupan sosial masyarakat kota Bandung. Fungsi-fungsi sosial fasilitas umum kita, telah berganti menjadi tempat usaha, yang hak pengelolaannya berganti ketangan-tangan penguasa partikelir. Jual beli lahan, atau yang umumnya disebut lapak merupakan warna nyata dalam bisnis gelap dunia PKL. hitungan jual beli tersebut bukan sebatas ratusan ribu, malahan jutaan rupiah merupakan realitas klasik bagi para PKL. Fungsi sosial yang seharusnya diperuntukan dalam satu kawasan lambat laun mulai bergeser menjadi lahan baru PKL yang tidak tertata. Konsekwensi logisnya, Hak masyarakat yang seharusnya memanfaatkan kawasan tersebut kini hilang dan hanya sebuah harapan untuk mengembalikannya ke posisi proporsional. PKL sebagai aset kota Bandung sudah tentu akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kota jasa. Untuk menata PKL sebagai aset kota maka sudah tentu semua pihak harus terlibat memikirkan permasalahan yang ada saaat ini. Legislatif, eksekutif, NGO’s dan komponen masyarakat serta PKL sendiri senantiasa harus mensinergikan programmnya dalam mencari format yang pas bagi persoalan PKL ini. Yang sangat ditakutkan dalam pembinaan PKL adalah pertumbuhan PKL yang terus bertambah.

Kesemrawutan akan nampak jika kita mulai memasuki kawasan pasar Baru Alun-alun, Jl. Asia Afrika Bandung serta Tegalega. Didaerah pasar Baru yang jalur lalu lintasnya searah sekarang menjadi jalan bermodel botol. Dengan bentuk masuk yang melebar dan pintu keluar menyempit, jalan Otista tersebut senantiasa macet pada pagi, siang dan sore hari. Jalur masuk yang semula 3-4 mobil pada akhirnya harus bertarung pada ujung persimpangan Otista-Sudirman menjadi satu arah. Penyebabnya tak lain oleh kesemrawutan pengaturan PKL dikawasan tersebut. Dua tahun yang lalu kebijakan pemda kota Bandung mengijinkan PKL berdagang dibahu jalan Otista jika mendekati hari raya Idul Fitri. Setelah itu mereka dilarang. Namun untuk saat ini ternyata kebijakan tersebut masih berlaku, oleh persepsi PKL. Meskipun dengan segala daya upaya pemerintah Kota terus menertibkannya, namun hasilnya dapat kita lihat saat ini. Mengurut pada periode zaman Kolonial Belanda, penataan kota Bandung mengacu pada analisis perhitungan ekonomi biaya-manfaat ( cost-benefit analysis ) yang sangat rinci, dengan mengabaikan asfek sosial-budaya. Sehingga, dalam pertumbuhan selanjutnya, mengakibatkan timbulnya kompleksitas masalah perkotaan, baik yang berkaitan dengan asfek tata ruang, transportasi dan infrastruktur, penyediaan lapangan kerja, kesenjangan, ketidakadilan dan kecemburuan sosial, ekonomi serta budaya, maupun asfek yang berkaitan dengan kawasan pedagang pinggiran.











BAB III

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

BERDASAR MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN/TEORI

Menurut Mazmanian dan Sabatier serta Van Meter dan Van Horn, yang variabelnya sama bahwa yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dimana para PKL melakukan aktivitasnya hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan masih adanya sebagian PKL yang melanggar ketentuan dan berusaha mempertahankan eksistensinya demi untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kesejahteraannya.

Dalam kajian Peter Hall, jika permasalahan ini terus berlangsung, tanpa pengendalian yang efektif, akan merusak daya dukung lingkungan dan komunitas penduduknya, “kota-kota ini tidak memiliki masa depan”. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan Johm Ormsbee Simonds ( Earthspace, 1986), bahwa pengelolah kota ( urban manager ) bersama kalangan bisnis dan masyarakat luas, sadar atau tanpa sadar disadari, karena keserakahannya, bersama-sama sedang melakukan bunuh diri ekologis ( ecologis suicide ), dengan merusak sistem. Dengan tidak adanya kebijakan dan ketegasan yang pasti dari pengelolah Kota Bandung ini bukan mustahil mereka melakukan bunuh diri terhadap masa depan kotanya. Demikian pula dengan keberadaan PKL yang tidak teratur ini ekosistem yang selama ini ada akan kembali terusik yang lama-kelamaan akan menjelma menjadi parasit bagi lingkungan sekitarnya. Terutama ruang publik yang selama ini minim, malah terampas oleh kegiatan PKL.
Menyadari konsep penataan ruang yang mengacu pada analisis perhitungan ekonomi biaya – manfaat yang tidak memperhitungkan keterlibatan komunitas pedangang marginal, maka konsekwensi logis yang harus ditempuh oleh penentu kebijakan adalah menata kembali fungsi dan peran keterlibatan pengusaha kecil ( PKL ) sebagai aset yang harus dikembangkan bukan dihanguskan, dengan menyediakan kawasan usaha yang strategis dan model wadah ( gerobak ) yang menarik.

Dengan mendidik masyarakat bertanggung jawab dan memiliki lingkungannya maka, kebijakan preventif dan antisipasif senantiasa masyarakat sendiri yang akan mengawasinya. Kita percaya kesemrawutan yang ada bukanlah keinginan dari masyarakat yang berada dalam kawasan yang terambil ruang publiknya. Struktur pemerintahan dari tingkat RT sampai kecamatan merupakan pendorong bagi gerakan bersama ini. Adalah konsep akan bermanfaat jika diaplikasikan bukan sebatas retorika atau hanya pelengkap administrasi belaka. Dengan penataan yang terpadu bukan mustahil, PKL ini akan menjadi aset dalam mengerakkan ekonomi kerakyatan masyarakat Bandung sehingga cita-cita sebagai kota Jasa bukan sebatas slogan belaka.

Zaman telah berubah, kebijakan untuk menghilangkan PKL bukanlah pilihan tepat, yang jelas pembinaan berkelanjutan merupakan program jangka panjang dalam merumuskan ouput yang sesuai dengan konsepsi bersama. Adalah tepat jika kita mengarahkan kreatifitas dan keteguhan pelaku usaha pinggiran ini untuk mulai kita fokus dalam pengembangan dan kebijakan yang tepat. Bukan mustahil dari tangan-tangan mereka akan tumbuh small industri yang bisa menghasilkan Devisa berbentuk Dolar bagi kota Bandung tercinta ini. Keberadaan Pedagang kaki Lima ( PKL ) merupakan fenomena menarik dalam krisis yang berkepanjangan ini. Multipler Efect yang diakibatkan oleh Krisis Ekonomi yang perdananya dimulai tahun 1997 mengakibatkan kehancuran besar bagi dunia konglomerasi yang umumnya menguasai perekonomian Indonesia. maka lahirlah generasi baru dengan status pengangguran, baik berkeahlian maupun tidak. Ketidakseimbangan antara besarnya tenaga kerja yang tersedia dan kesempatan kerja melahirkan inisiatif baru bagi sebagian anggota masyarakat untuk tetap mempertahankan hidupnya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah menjadi PKL, meskipun itu bukan kehendak yang seharusnya mereka lakukan.

























BAB IV

PERSPEKTIF IMPLEMENTASI KEBIJAKAN YANG DIGUNAKAN OLEH PEMERINTAH TERHADAP PKL

Pada masa krisis moneter melanda Indonesia yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 yang ditandai dengan nilai tukar rupiah yang menurun tajam serta resesi global, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi sebuah keniscayaan. Di satu sisi, Negara akan disibukkan menjalankan fungsinya yang reguler untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional. Di sisi yang lain, masyarakat akan mencari pekerjaan alternatif untuk menopang kebutuhan hidupnya yang kian komplek. Pada saat inilah, lapangan kerja informal menjadi pilihannya. Salah satunya menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL).

Munculnya PKL bagai cendawan di musim hujan di saat naiknya harga-harga kebutuhan pokok serta sulitnya memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok ini (PKL) mencoba mengais rizki dalam keterbatasan ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Memanfaatkan celah ruang kosong di jalan ataupun trotoar yang merupakan fasilitas umum. Kebanyakan dari mereka melaksanakan aktifitasnya di ruang-ruang publik di kawasan perkotaan.

Terpakainya badan jalan atau trotoar sebagai lokasi berjualan tentunya akan mengganggu pengguna jalan yang lain. Sebagai sesama warga masyarakat yang tentunya memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan fasilitas umum, hak pejalan kaki juga semestinya dilindungi oleh pemerintah. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak dibenarkan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang untuk mengosongkan fasilitas umum tersebut dari kegiatan yang dilakukan oleh PKL. Perlu pengaturan yang benar-benar bisa memihak dan menjamin terwujudnya kepentingan bersama.

Sikap etnis Sunda yang egaliter merupakan entry point positif untuk mendukung gerakan Pemda Kota Bandung dalam mengkapanyekan kebijakannya tentang PKL. Pendekatan yang selama ini mengutamakan Power akan mendapat perlawanan kuat dari para PKL ini, dan ini sudah tentu akan menciptakan persoalan baru bagi stabilitas kota. Inti kekuatan yang harus dibangun adalah partisipasi aktif anggota masyarakat pada lingkungannya. Sehingga timbul sensivitas untuk bertanggung jawab ( sense of responsibility ) dan sensivitas kepedulian untuk memiliki ( sense of belonging ). Dengan berbasiskan Relijius-Sosio-kultural dan pendekatan partispatif, niscaya program tersebut dapat disosialisasikan dan diaplikasikan. Sebagai contoh riel, Daurat Tauhit dengan santrinya telah mengaplikasikannya dan ini terlihat berhasil. Keterbatasan jumlah petugas merupakan faktor utama untuk tidak bisa mengawasi sepanjang waktu aktifitas PKL ini. Dan kecendrungan dilapangan masih banyak aparat yang hanya menarik retribusi tanpa memperhatikan keteraturan dan kedisiplinan PKL.



























BAB V
KESIMPULAN

Selama Bandung masih dalam proses pengembangan kota atau wilayahnya, maka akan terjadi persoalan persoalan yang muncul yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakatnya dan hal ini jelas sekali akan berpengaruh pada kehidupan perkotaannya. Akibat dari datangnya urbanisasi yang tidak jelas pola dan arahnya, kota Bandung menjadi limpahan dari para pedagang kecil yang memang sangat mengerti keuntungan dalam mencari nafkah disituasi kota seperti ini.

Dalam menangani perbagai masalah kota yang begitu semrawut, tidak cukup hanya dengan sebuah makalah yang tidak berisi konsep pengembangan kota yang menyeluruh, karena persoalan kota sangat menyangkut persoalan kehidupan kelompok manusia yang saling bergantungan satu sama lain sehingga didalam menyelesaikan persoalan yang timbul, kita harus tetap mempunyai komitmen kepada keseluruhan aspek yang sangat berkaitan dan juga apabila segala aspek sosial tidak dapat diakomodir, maka konsep sebaik apapun tidak akan berhasil untuk dilaksanakan.

Jadi dalam hal fenomena kaki lima ini, kota Bandung sampai saat ini masih belum bisa mempunyai solusi yang baik karena didalam penyelesaiannya ternyata sangat banyak berkaitan dengan dengan masalah sosial yang tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi, karena kehidupan sosial masyarakat kota sangat beragam dan juga sangat mempunyai ciri yang sulit untuk dianalisa dengan baik dan apabila masyarakat kaki lima kita arahkan untuk menjadi masyarakat pertokoan, jelas hal ini tidak akan berhasil karena antara masyarakat kaki lima dan masyarakat pertokoan sangat berbeda, sehingga penanganan keduanya pun sangat berbeda.

Lalu apa yang harus kita lakukan ?

Pertama : Kita harus melihat kota bukan sebagai tempat satu golongan manusia atau satu tingkat kehidupan masyarakat

Kedua : Dalam pengindentifikasian masalah harus ditekankan kepada masalah sosial yang sangat peka terhadap perkembangan keadaan politik dan situasi negara

Ketiga : Apabila terjadi suatu persoalan kota yang diakibatkan oleh pedagang kaki lima, kita harus melihatnya dari segi kehidupan kakilima dan dilema yang mereka hadapi

Keempat : Didalam kajian ilmiah masyarakat kota, kita harus melihat segi yang menyangkut kehidupan masyarakat bawah yang sangat memerlukan kehadiran pedagang kaki lima ini

Kelima : Apabila didalam suatu masyarakat kota tidak ada kelompok bawah ini, apakah kehidupan kota akan terjadi ?

Keenam : Didalam kelompok masyarakat kota, harus lebih dilihat akibat yang timbul apabila kelompok kaki lima ini tidak ada, dan hal ini harus ditinjau dari segi kehidupan sosial yang akan sangat mendominasi kehidupan kota

Ketujuh : Didalam kajian ilmiah mengenai perkotaan dari sisi Ruang Kota, maka harus dilihat Ruang Kota sebagai tempat kehidupan kota bukan sebagai dunia keindahan semata, jadi tidak mungkin kita menyelesaikan masalah perkotaan hanya dilihat dari segi keindahan kota.

Kedelapan: Dengan mengutamakan kaidah kebersamaan antara golongan dan tingkatan masyarakat kota, maka sudah sewajarnya kita mempunyai solusi yang berthema kebersamaan yang indah bukan keindahan untuk dinikmati bersama.

Kesembilan : Relokasi seluruh di satu kawasan dengan menggunakan alternatif relokasi dan formalisasi PKL di lahan kosong.



Masyarakat kaki lima pada umumnya adalah masyarakat yang mencoba bertahan hidup didalam situasi sesulit apapun dan mereka ini mempunyai mental yang cukup kuat dan apabila mereka dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, maka mereka akan dengan mudah mengatasi.

Disatu sisi, masyarakat ini sangat lemah dari keleluasaan dan juga sangat lemah terhadap hak azazi manusia karena dilain sisi dia mengharapkan adanya perlindungan hal mereka untuk berusaha, tetapi disisi lain kadang kadang mereka mengganggu hak azazi orang lain. Masalahnya, justru dalam hal inilah mereka berusaha karena ternyata mereka sangat memanfaatkan jalur sirkulasi yang ada didaerah pertokoan dan apabila hal ini didiamkan maka akan menjadi masalah serius bagi lingkungan setempat dan pada akhirnya menjadi masalah serius bagi perkotaan.

Jadi apabila kita melihat karakteristik masyarakat ini, kita juga tentunya tidak hanya melihat mereka hanya sebagai sampah kota yang membuat sepertinya kota menjadi buruk rupa, lebih dalam lagi kita justru melihat suatu aspek kehidupan penunjang masyarakat kota yang senantiasa menghendaki berbagai fasilitas kehidupan terpenuhi dengan mudah dan hal ini sangat erat berkaitan dengan karakteristik masyarakat dari golongan manapun.

Walaupun Pemerintah setempat berusaha sekuat tenaga atau mengeluarkan peraturan seketat apapun, golongan masyarakat ini tidak akan pernah bisa mengikuti peraturan ataupun rencana kota yang tidak memperlihatkan solusi bagi inti kehidupan mereka sehingga pada akhirnya terjadi main kucing kucingan antara aparat pemerintah dengan mereka, sehingga akibatnya pertumbuhan pedagang ini semakin subur dan menjadi lahan bagi aparat pemerintah karena ternyata mereka dapat dengan mudah mendapat ijin usaha ditempat manapun dan faktor ini merupakan salah satu pemicu berkembangnya pedagang kaki lima ini.

Selasa, 07 April 2009

Standar penanganan bencana kebakaran di gedung UNPAR Bandung

SOP PENGAMANAN GEDUNG

Pengelola akan selalu berusaha untuk menjaga keamanan gedung dengan cara melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan juga mengambil langkah-langkah yang merupakan prosedur tetap apabila terjadi kebakaran atau bencana lain.

Tanda Bahaya Kebakaran dan Prosedur Tetap Penanganan Keadaan Darurat

1. Umum

a. Tanda Bahaya Kebakaran dan Prosedur penanganan Keadaan Darurat dirancang sedemikian rupa untuk mengantisipasi situasi-situasi seperti Kebakaran dan Evakuasi Gedung dan/atau kawasan lain apabila terjadi keadaan darurat.

b. Pengelola telah menunjuk Pengawas Kebakaran, Koordinator Evakuasi ( Evacuation Coordinator ) dan Koordinator Titik Assembly ( Assembly Point Coorcdinator ) dengan tugas untuk menangani apabila terjadi Kebakaran atau Keadaan Darurat.

c. Titik Assembly adalah titik berkumpul atau titik pelaporan yang dapat digunakan sebagai titik evakuasi bila diperlukan

d. Seluruh petugas gedung wajib mengikuti pelatihan khusus untuk penanggulangan Keadaan Darurat.

e. Pengguna diwajibkan untuk mengikuti instruksi yang diberikan oleh mereka tersebut pada butir (2) di atas apabila terjadi Keadaan Darurat

f. Staf keamanan dan kebersihan juga bertanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas khusus apabila terjadi Kebakaran atau Keadaan Darurat dan mereka akan memberikan bantuan kepada Pengguna untuk meninggalkan gedung.

g. Pengelola dapat mengadakan latihan simulasi Keadaan Darurat apabila dianggap perlu, dan para Pengguna akan diberi tahu dalam hal ini dan diharapkan dapat memberikan kerjasama dalam mengikuti simulasi.

h. Semua Pengguna gedung diwajibkan untuk mengenal prosedur Kebakaran dan Keadaan darurat ini secara baik. Mengetahui lokasi yang tepat Tanda Bahaya Kebakaran dan juga alat pemadam kebakaran di lantai mereka masing-masing.

2. Prosedur Tetap Dalam Keadaan Bahaya

Dalam keadaan bahaya kebakaran, diharapkan seluruh pengguna untuk melakukan hal-hal berikut sebagai prosedur standar.

a. Mematikan semua kran air, air akan sangat dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran pada saat kebakaran terjadi

b. Matikan semua peralatan listrik maupun gas di lantai anda

c. Kosongkan gedung melalui tangga darurat menuju ke lobi lantai dasar.

d. Keluarlah dari lobi lantai dasar dan berkumpul pada titik assembly.

e. Lapor kepada koordinator titik assembly bila ada anggota Pengguna di lantai anda yang tidak ada.

f. Tetaplah berada pada area titik assembly dan tunggu instruksi selanjutnya atau sampai pemberitahuan keadaan amansudah diberikan.

g. Ingatlah agar tetap tenang dan jangan panik atau lari.

3. Tanda Bahaya Kebakaran

a. Tanda bahaya terjadinya kebakaran gedung merupakan tanda standar berupa bunyi sirene khusus.

b. Pengelola akan memberikan pengumuman apabila terjadi kebakaran disampin tanda bahaya standar.

4. Pencegahan Bahaya Kebakaran

Semua Pengguna gedung diwajibkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah terjadinya kebakaran yang meliputi :

a. Jagalah agar alat pemadam kebakaran siap digunakan dan diletakkan di tempat yang mudah terlihat dan terjangkau.

b. Jangan buang puntung rokok yang masih menyala ke dalam tempat pembuangan sampah. Rokok harus selalu dimatikan di tempat abu rokok.

c. Gunakan tabung bahan bakar cair sesuai petunjuk.

d. Jangan menggunakan listrik melebihi beban arus listrik. Gunakan satu alat listrik pada satu stop kontak yang ada di dinding.

e. Periksalah semua alat listrik secara teratur demi keamanan.

f. Jangan tinggalkan alat-alat listrik yang dapat menghasilkan panas tanpa pengawasan.

g. Matikan semua alat listrik apabila sudah tidak diperlukan.

5. Peralatan Pemadam Kebakaran

a. Gedung UNPAR Bandung harus dilengkapi dengan peralatan yang sesuai dengan persyaratan penghindaran kebakaran, dan mempunyai system Pendeteksian dini, Pencegahan dan Pemadam Kebakaran yang diperiksa secara teratur agar selalu dalam keadan siap pakai.

b. Gedung UNPAR Bandung harus diengkapi dengan detector asap yang dihubungkan dengan pusat system bahaya kebakaran. Hindari kegiatan yang dapat menghasilkan banyak asap, karena dapat mengaktifkan system bahaya kebakaran.

c. Selang gulung dan Hydrant telah dipasang pada semua bagian gedung dalam lemari yang diberi tanda dengan jelas pada setiap lantai. Setiap selang gulung terdiri dari gulungan yang cukup panjang untuk pencapaian kedaerah terjauh pada setiap lantai.

d. Di samping system Selang dan Hydrant di atas, diletakkan pula Alat Pemadam Kebakaran yang portable di seluruh gedung.

6. Pemakaian Alat Pemadam Kebakaran

a. Setiap Pengguna diwajibkan mengikuti simulasi penggunaan alat Pemadam Kebakaran.

b. Petunjuk penggunaan Alat pemadam kebakaran dicetak cukup jelas dan dipasang disamping alat pemadam kebakaran.

7. Pengosongan dan Pengungsian

a. Tujuan dari suatu pengungsian ialah untuk mengungsikan Pengguna, staf, mahasiswa, tamu, dan para karyawan dari kawasan gedung secepatnya bilamana terjadi Keadaan Darurat yang dapat membahayakan jiwa.

b. Keadaan Darurat dapat terjadi setiap saat, semua pihak harus dipersiapkan dan dilatih untuk menghadapi Keadaan darurat tanpa mengalami kepanikan dan kekacauan.

c. Keadaan Darurat umumnya meliputi kebakaran dan bencana seperti gempa dll.

d. Semua lantai harus diperiksa oleh Tim Evakuasi untuk memastikan bahwa tidak ada orang di lantai tersebut.

e. Dalam Keadaan Darurat, Tim Evakuasi mempunyai hak untuk memasuki ruangan dari lantai-lantai gedung

f. Pengosongan dilakukan mulai dari lantai teratas dan kemudian pada lantai-lantai di bawahnya

g. Tim Evakuasi harus mengadakan komunikasi setiap saat dengan pusat pengendali ( Pengelola Gedung ).

8. Keamanan Gedung

a. Pengelola melakukan kegiatan pengamanan yang meliputi promosi, pencegahan dan penanganan masalah pengamanan fisik maupun non fisik dari gedung Pengguna Gedung.

b. Pengguna wajib melakukan tindakan yang cukup untuk membantu upaya pengamanan baik secara umum dari gedung , maupun secara khusus pada lantai yang ditempatinya

c. Pengguna wajib menyampaikan kepada petugas pengamanan apabila menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan.

d. Dalam keadaan tertentu, Pengelola dan Petugas Keamanan mempunyai hak unutk masuk ke dalam unit gedung dan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pengamanan sesuai dengan kewenangan yang disandangnya.

e. Dalam keadaan tertentu Pengelola dapat melakukan penutupan suatu daerah atau unit gedung apabila diperlukan untuk hal tersebut.

f. Pos pengamanan terletak di dekat tangga darurat lantai dasar.

Selasa, 24 Maret 2009

Faozan adalah Mahasiswa UNPAR yang aktif di UKM


Korps Tenaga Sukarela UNPAR

Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon III-Jawa Barat


Faozan adalah mahasiswa Universitas katolik Parahyangan, angkatan 2008. untuk menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman yang menarik beliau bergabung di Unit Kegiatan mahasiswa (UKM) yang terdiri dari : Resimen Mahasiswa Mahawarman Batalyon III UNPAR, dan UKM Korgala. selain itu, Dia aktif juga di berbagai acara Fakultas dan acara Universitas. Dia adalah Putra daerah NIAS yang mau menambah pengetahuan di luar pulau Nias. sekedar perkenalan tentang daerah nias, Nias adalah salah satu tempat Pariwisata yang ada di Sumatera Utara tepatnya di bagian barat Pulau Sumatera.